Senin, 16 November 2009

ganyang koruptor

Masyarakat luas telah mengikuti pemutaran rekaman sebagian dari episode kisruh “cicak-buaya” yang disiarkan langsung oleh televisi selama kurang lebih 4,5 jam pada tanggal 3 November 2009. Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tersebut hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya: adanya mafia hukum/peradilan.

Pemutaran rekaman telepon hasil penyadapan KPK yang ditonton oleh masyarakat luas itu kemudian menjadi pendorong kuat bagi mereka untuk menggugat seluruh instrumen penegak hukum dan sistem peradilan yang ada. Gugatan tersebut kemudian mereka lampiaskan baik di dunia nyata (mulai demonstrasi hingga unjuk seni parodi) maupun di dunia maya/internet (mulai dari ekspresi kekecewaan hingga kecaman).


Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum pun makin rendah. Menurut jajak pendapat Kompas, 89,8% masyarakat percaya bahwa keputusan hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang (Kompas, 9/11/09).

Singkatnya, masyarakat seperti terbuka matanya dan mulai menyadari betapa suap-menyuap dan korupsi telah berurat akar dan menjadi lazim di negeri ini, khususnya di dunia peradilan.

Mafia Hukum: Bukti Nyata Kebobrokan Sistem Hukum dan Peradilan Sekular

Kasus di atas menjadi bukti nyata betapa amburadulnya sistem hukum dan peradilan sekular di Indonesia; baik menyangkut aparat penegak hukum, lembaga-lembaga hukum yang ada maupun undang-undang dan peraturan yang dijadikan acuannya. Undang-undang yang ada gagal mengatasi seluruh kasus hukum di masyarakat yang membutuhkan keadilan. Akibatnya, masih sering dibutuhkan adanya payung hukum baru seperti Perppu ataupun produk hukum yang lain saat UU atau peraturan yang ada dianggap tidak cukup memadai. Aparat dan lembaga hukum yang ada pun dianggap tidak cukup memadai dalam menangani banyak kasus hukum dan peradilan. Akibatnya, dibentuklah kemudian Tim Pencari Fakta (TPF) atas sejumlah kasus hukum di negeri ini sering terjadi. Terakhir, dalam kisruh KPK-Polri, dibentuk Tim 8 oleh Presiden. Sebagian pihak menilai kebijakan ini menjadi blunder dan kontradiktif (berlawanan) dengan sistem hukum yang ada, juga dengan sejumlah lembaga penegak hukum yang ada.

Sementara itu, Global Corruption Report melansir sekitar US$ 40 miliar (sekitar Rp 400 triliun) digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat setiap tahun. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik: mempertahankan pemerintahan yang korup! Suap sepertinya sudah menjadi “tradisi” dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini. “Semua itu dilakukan dengan modus operandi yang sangat terorganisasi,” kata Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis saat peluncuran Global Corruption Report 2009, di Jakarta, Rabu (7/10).

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai “the envelope country” karena segala hal bisa dibeli; entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain.

Kasus korupsi yang ditangani KPK sejak Januari 2008-Agustus 2009 didominasi oleh modus suap. Menurut data ICW (Indonesia Coruption Watch), dari 95 kasus, ada 34 kasus (35,79 persen) modusnya suap; menyusul mark up 19 kasus (20 persen), penggelapan atau pungutan 18 kasus (18,95 persen), penyalahgunaan anggaran 15 kasus (15,79 persen), penunjukan langsung 8 kasus (8,42 persen), dan 1 kasus pemerasan. “Modus korupsi terbanyak yang diungkap KPK adalah suap.

Adapun dilihat dari latar belakangan profesi, tersangka korupsi paling dominan adalah swasta. Dari 95 tersangka: 19 di antaranya adalah swasta; disusul anggota DPR/DPRD 18 orang, pejabat eselon dan pimpro 17 orang; duta besar, pejabat konsulat dan imigrasi ada 13 orang; kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) 12 orang; dewan gubernur/pejabat Bank Indonesia 7 orang; pejabat BUMN 5 orang; komisi negara 2 negara; aparat hukum dan BPK masing-masing 1 orang. Mereka tersangkut kasus kejahatan baik karena korupsi yang merugikan keuangan negara, terlibat suap, menerima gratifikasi (hadiah) atau melakukan penggelapan, pemerasan, dan perbuatan curang lainnya.

Mantan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana—baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam—menguap masuk ke kantong para koruptor. Selain itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara sering merugikan rakyat. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh (semacam UU Energi, UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan), adanya impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.

Melihat semua fakta di atas, tentu tidak salah jika masyarakat sampai pada sebuah kesimpulan, mafioso peradilan betul-betul telah mengakar dan meruntuhkan sistem peradilan di negeri ini. Akibatnya, jalannya roda pemerintahan terganggu, karena para birokrat tidak bekerja secara optimal. Efek dominonya, masyarakat semakin menderita dan menggantang asap keadilan.

Pertanyaannya, akankah umat Islam yang menjadi mayoritas dan sekaligus “penentu hitam-putihnya negeri ini” tetap mempertahankan produk hukum dan peradilan dari sistem sekular yang terbukti bobrok seperti saat ini? Tentu tidak! Jika demikian, apa solusinya?


Solusi Islam

Sebagai sebuah sistem hidup yang paripurna, yang berasal dari sang Pencipta yang Mahaseperuna, Allah ‘Azza wa Jalla, Islam memiliki sejumlah cara yang sangat gamblang untuk menanggulangi berbagai masalah manusia, khususnya dalam upaya mencegah terjadinya kasus korupsi, suap-menyuap dan maraknya mafia peradilan. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Sistem penggajian yang layak.

Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan fasilitas yang layak. Rasul saw. bersabda:

«مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلاً، فَلَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ خَادِمًا فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ مَسْكَنًا فَلْيَتَّخِذْ مَسْكَنًا، أَوْ دَابَّةً فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً، فَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ، أَوْ سَارِقٌ»

Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang atau pencuri! (HR Abu Dawud).

2. Larangan suap dan menerima hadiah.